Ilmuwan-ilmuwan muslim membukitkan iman mereka dengan
penyelidikan lanjut, diantaranya melalui astrolab ini.
Sekitar abad 9 M, saat bangsa Islam menguasai separuh dunia, naskah-naskah
ilmiah seperti karya astronom Yunani Ptolemeus diterjemahkan ke bahasa Arab.
Dinasti Abbasiyah juga mendapatkan naskah-naskah
Sansekerta yang kaya akan informasi tentang matematika,
astronomi, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Observatorium juga banyak dibangun di kota-kota tempat peradaban Islam berada.
Di tempat ini, para ilmuwan memiliki berbagai alat paling canggih masa itu seperti astrolab, kuadran, sekstan, dan jam matahari.
Penetapan Mekah sebagai kiblat mendorong cendikiawan Muslim mempelajari ilmu falak. Sejak abad 13, banyak masjid dibangun memperkerjakan seorang astronom profesional (muwaqqit) sehingga bisa menentukan arah kiblat secara tepat.
Lagi-lagi, komputer saku astrolab jadi panduan utama.
Tidak itu saja, ilmuwan Muslim bisa menentukan tanggal dan hari-hari raya untuk ibadah berdasar pengamatan pada peredaran bulan dan matahari, dan mereka juga bisa membantu orang yang akan naik haji merencanakan rute perjalanan paling efisien ke Mekah.
Ini satu contoh ilmu mutakhir yang hingga kini diakui kebenarannya:
Tahun 1031, Abu Raihan al-Biruni sudah menyebutkan kemungkinan bahwa planet-planet berotasi mengikuti orbit yang elips, bukan bulat.
Mengukur Bumi
Ekspansi Islam ke berbagai belahan bumi menciptakan pembuatan peta bumi ini, termasuk pembuatan globe. Para pembuat peta berupaya keras melakukan pengukuran yang akurat.
Khalifah al-Makmun pernah mengutus dua tim survei ke Gurun Siria dilengkapi astrolab serta tongkat dan tali pengukur. Dua tim tersebut berjalan berlawan arah hingga mereka mengamati satu derajat perubahan ketinggian Bintang Utara. Hasil perhitungan mereka menunjukkan bahwa jarak yang mereka tempuh sama dengan satu derajat garis Lintang, atau 1/360 keliling bumi.